Prof. Didin S. Damanhuri: Stabilitas Politik Kunci Kemajuan Ekonomi, Indonesia Harus Berbenah

Prof. Didin S. Damanhuri: Stabilitas Politik Kunci Kemajuan Ekonomi, Indonesia Harus Berbenah

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus Ketua Dewan Pakar Asprindo, Prof. Didin S. Damanhuri, mengungkapkan bahwa stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang jauh lebih rendah dibandingkan Vietnam disebabkan oleh perbedaan sistem politik serta lemahnya penegakan hukum. Menurutnya, ketidakseimbangan dalam demokrasi prosedural di Indonesia menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi, sehingga negara ini tertinggal dari Vietnam.

Selama satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Vietnam rata-rata mencapai 6,05 persen. Secara rinci, Vietnam mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen pada 2014, 7 persen di 2015, 6,7 persen pada 2016, 6,9 persen di 2017, 7,5 persen pada 2018, dan 7,4 persen pada 2019. Ketika pandemi Covid-19 melanda, pertumbuhan ekonomi Vietnam turun menjadi 2,9 persen pada 2020 dan 2,6 persen di 2021. Namun, pada 2022 ekonomi Vietnam melonjak hingga 8,1 persen sebelum kembali ke angka 5 persen pada 2023.

Di sisi lain, Indonesia hanya mencatatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 4,21 persen dalam satu dekade terakhir. Pada 2014, ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen, diikuti oleh 4,9 persen pada 2015, 5 persen di 2016, 5,1 persen pada 2017, 5,2 persen pada 2018, dan kembali ke 5 persen di 2019. Saat pandemi melanda, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar -2,1 persen pada 2020, kemudian pulih ke angka 3,7 persen di 2021, naik menjadi 5,3 persen di 2022, dan kembali ke 5 persen pada 2023.

Menurut Didin, secara prinsip tidak ada perbedaan mendasar dalam cara suatu negara menumbuhkan ekonominya. Faktor-faktor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi meliputi pengeluaran pemerintah, perbankan, investasi, konsumsi domestik, serta perdagangan internasional. Namun, perbedaan sistem pemerintahan memiliki dampak signifikan dalam pertumbuhan ekonomi.

“Vietnam memiliki kemiripan dengan era Orde Baru di Indonesia, di mana stabilitas politik terjaga dalam jangka panjang, terdapat garis besar kebijakan nasional yang konsisten, serta minim gangguan dari kebijakan jangka pendek setiap lima tahun,” jelas Didin.

Stabilitas Politik Vietnam Sebagai negara dengan sistem politik komunis satu partai, Vietnam mampu menyusun rencana pembangunan jangka panjang yang tidak banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. Menurut Didin, kondisi politik di Vietnam relatif stabil, dan penegakan hukumnya berjalan konsisten meskipun terjadi pergantian kepemimpinan. Hal ini memberikan jaminan kepastian bagi para investor.

Sebaliknya, Indonesia menganut sistem presidensial dengan pergantian kepemimpinan setiap lima tahun melalui Pemilu. Dengan banyaknya partai politik yang terlibat, muncul berbagai kepentingan yang dapat mempengaruhi kebijakan ekonomi. Akibatnya, tidak ada jaminan stabilitas dalam keberlanjutan pembangunan.

“Di Indonesia, setiap pergantian pemerintahan sering kali diikuti dengan perubahan kebijakan. Meskipun pemerintahan dua periode seperti SBY atau Jokowi berusaha menjaga kesinambungan, tetap saja terjadi perbedaan prioritas di setiap periode lima tahunan,” ujar Didin.

Ia menyoroti bahwa sejak era reformasi, tidak ada kebijakan industrialisasi yang berkesinambungan untuk memberikan kepastian bagi investor dalam mendukung sektor industri.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Didin menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia mengalami banyak tantangan akibat dinamika politik yang semakin dipengaruhi oleh kepentingan korporasi besar. Salah satu kebijakan kontroversial yang lahir dalam pemerintahan Jokowi adalah Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai kurang berpihak kepada publik.

Dengan kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto, Didin melihat adanya potensi pergeseran kebijakan ekonomi yang lebih berorientasi kepada rakyat. Namun, kebijakan tersebut masih menggunakan landasan hukum yang berasal dari era pemerintahan sebelumnya, yang dinilai kurang kompatibel dengan kondisi saat ini. Akibatnya, para investor melihat ketidakpastian dalam iklim investasi.

Ia mencontohkan beberapa permasalahan yang menciptakan ketidakpastian, seperti lemahnya penegakan hukum terhadap pengemplang pajak di sektor sawit dan tambang, maraknya kasus korupsi, serta polemik proyek strategis nasional seperti PSN PIK 2 yang berkaitan dengan reklamasi laut.

“Demokrasi prosedural yang berjalan saat ini berdampak pada sulitnya mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi saat ini cenderung tidak berkualitas, karena ketimpangan justru semakin meningkat,” tambahnya.

Tantangan Ekonomi Indonesia Menurut Didin, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mencapai ambisi pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diusung oleh Prabowo. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahan Prabowo perlu melakukan modernisasi sistem politik guna menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih kondusif. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah industrialisasi di pedesaan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi yang semakin tajam.

“Saya melihat program Kampung Industri yang telah digagas oleh Asprindo sebagai inisiatif yang baik. Program ini perlu diperluas dan bahkan dijadikan sebagai program nasional,” tutur Didin.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa modernisasi sistem politik dapat menjadi langkah strategis untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, sekaligus tetap mempertahankan kompetisi politik yang sehat. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah menjamin supremasi hukum sebagai fondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ASPRINDO

Follow Sosial Media ASPRINDO

Design Website by Lafasy Digital